Perkenalkan
namaku Safira. Diambil dari nama batu yang sangat menawan, elegan, dan menjadi
idola banyak orang. Dan kalian pun dapat menebak, nama itulah yang diberikan
Abah untuk diriku sebagai doa dan harapan terbesar dalam hidupnya. Namun
perlahan-lahan Abah khawatir dengan doanya. Sebagai gantinya, Abah selalu
berdoa di setiap sujud malamnya, mengulangi lagi doa-doanya, dan memohon
hidayah seluas-luasnya yang akhirnya doa itulah yang mengantarkanku ke dalam
sujud paling dalamNya lagi.
Cerita
itu dimulai saat gerbang Madrasah Amaliyah berakhir.
“Jadi,
Safira mau ambil kuliah kamu di Jakarta?”
Aku
belum bisa menjawab. Masih memikirkan jawaban yang tepat untuk Abah. Disaksikan
Umi yang sedang merapikan meja makan dengan wajahnya yang penasaran menunggu
jawaban dari Safiranya yang cantik ini. Bukan karena aku tidak dapat menjawab
pertanyaannya, lebih tepatnya karena aku menimang-nimang apakah jawabanku cukup
sopan untuk diutarakan atau jawabanku akan mengecewakan hati mereka atau tidak.
Beberapa
detik terlampaui hening dan Abah pun melanjutkan pertanyaannya lagi.”Jadi,
Safira mau ambil kuliah di Jakarta dan ninggalin Abah sama Umi ngurusin
pesantren ? Safira gamau belajar jadi ustadzah atau banyak belajar kitab sama
Abah mungkin atau …?”
“Safira
tetep ambil, Bah. Itu sudah Safira impikan sejak lama.”, jawabku singkat,
natural. Defensif, tetapi dikemas lebih sopan.
“Jakarta
itu ..”
Umi mencoba melawan keinginanku. Tetapi sudah
dipotong dengan jawabanku diluar kendali.
“Kejam?”,
tanyaku singkat.”Umi Abah ga usah khawatir. Safira bisa jaga diri baik-baik.
Dari SD sampai sekarang, Abah yang selalu milihin madrasah buat Fira. Bahkan
Fira selalu di pesantren sampai Fira gak tau dunia luar. Fira pengen bebas,
Bah. Fira bosen!”, jawabku jauh lebih defensif, lebih frontal.
Sebenarnya
jawaban ini yang ingin kuutarakan sudah semenjak lama. Aku menangis kesal, lalu
meninggalkan percakapan serius itu tanpa permisi.
Sebelum
langkah kakiku menginjak beberapa langkah dari pintu kamar, aku menyeletuk
pelan lagi.
”Fira
pengen dunia baru, Bah. Fira pengen hijrah.”
2
minggu sudah aku memingit diriku sendiri di dalam ruangan kotak pengap tanpa
jendela. Tanpa mengikuti kajian kitab dari Abah, mendengarkan tausiah rutin
malam minggu dari Umi, atau bahkan sekedar bersenda gurau dengan santri-santri
yang berkeliaran di lingkungan rumahku. Aku merasa tercekam, bahkan terkekang
sepanjang hidupku, sampai saat ini.
Semua
terasa seperti repetisi. Tanpa penguatan hati dan dasar untuk apa aku
melakukannya. Semua sudah Umi ajarkan, tetapi kadang aku tidak peduli. Jilbab,
ngaji kitab setiap sore, tidak boleh keluar rumah diatas jam maghrib, tidak
boleh tidur setelah subuh, dan aturan-aturan lain yang sudah aku lakoni
semenjak masih kecil.
Mungkin
kalau dihitung, sudah ratusan kali Umi mengetuk pintu tanpa jawaban. Tetapi
kali ini aku tidak bisa menolak rayuannya.
“Dibuka
pintunya, Nduk. Umi mau minta waktu sebentar buat ngomong. Umi ndak akan marah,
kok.”, pintanya halus dengan nada jawa khasnya.
“Nggih,
Mi.”, jawabku sambil membukakan pintu kamar.
Tangannya
mengular hangat di pundakku, lalu jemarinya perlahan-lahan mengelus halus penuh
sayang.
“Setelah
Abah dan Umi pertimbangkan, dengan berat hati, Fira boleh ambil kuliah di
Jakarta.”
Belum
selesai Umi meneruskan kata-katanya, aku sudah kelewat girang dengan memeluknya
erat sambil teriak sampai susah
bernafas.
“Aaaaah,
syukran, Mi.”
“Tapi,
Fira janji ya bakal ……”
“Iya,
Fira janji, Mi! Janji pokoknya.”
“Janji
apa?”, tanyanya menggoda.
“Sholat
tepat waktu, ngaji setiap hari, dhuha sebelum sekolah, tahajud tiap malam.”
“Pinter.”
Tanganku
mengular erat di perutnya. Menghirup bau misk lembut yang sudah lama tak
tercium selama beberapa minggu kebelakang.
---
Tiket
kereta sudah ada ditanganku. Dan dengan harap-harap cemas aku, Abah, dan Umi
menunggu kereta yang aku tumpangi datang. Aku berharap hidupku empat tahun ke
depan akan baik-baik saja dan apa yang aku bayangkan kelak akan menajdi kenyataan.
“Jaga diri baik-baik ya, Nduk. Kalau
ada libur panjang bilanga aja ke Umi. Nanti pasti Umi kasih uang buat pulang.
Semua yang ada di pesantren pasti bakal kangen banget sama suara tilawah
kamu.”, Umi mewanti-wanti dan mengulang nasihatnya berkali-kali. Aku
mengiyakannya.
Kereta pun datang. Pelukan Abah dan
Umi memberi tanda perpisahan.
---
Jakarta.
Seperti
yang sudah dibayangkan, Jakarta selalu terasa panas dan padat. Aku sama sekali
belum pernah menjamah tanah ini, apalagi tahu jalan-jalannya. Kakak kelasku
yang kebetulan sudah ada di Jakarta satu tahun lebih dahulu dariku menjemputku
di stasiun yang sudah dijanjikan. Aku akan tinggal di asrama kampus yang sudah
aku booking dari jauh-jauh hari. Kebetulan jaraknya hanya depan belakang dengan
kampus dan memudahkanku untuk ke kampus tanpa kendaraan. Semoga aku betah
disini dan tidak menyesali keputusanku.
“Kamu
akhirnya ambil jurusan apa, Fir?”, tanyanya sambil menikmati makan malamnya di
sebuah kafe dekat kampus. Untuk touchdown Jakarta, Mbak Aisy, kakak kelasku
mengajakku keliling Jakarta dengan mobilnya dan menunjukkan spot-spot yang
terkenal dan akhirnya berakhir di kafe pinggiran.
“Teknik
Industri, Mbak. Kalau ada apa-apa, aku menghubungi Mbak Aisy aja, ya. Soalnya
aku kan ga ada kerabat disini dan cuma Mbak Aisy aja yang aku kenal.
Hehehehe.”, pintaku centil. Mbak Aisy ini sahabat, kakak, dan ustadzah yang
sangat baik yang pernah aku kenal. Senyumnya manis, kulitnya putih, pipinya
kemerah-merahan. Sudah setahun ini aku tidak bertemu dengannya
“Tapi kamu jangan kaget ya sama
dunia baru kamu.”
“Emang kenapa mbak. Nyeremin? Atau
Fira bakal ga banyak waktu lagi buat main-main? Atau ..?”, aku menebak-nebak
cerewet.
“Nanti Fira juga bakal tahu sendiri
kok tanpa Mbak kasih tahu.”
Lalu percakapan kami berakhir. Mbak Aisy mengantarkaku ke asrama baruku, lalu meninggalkan pergi sampai memastikan bahwa barang-barangku sudah tertata rapi dan kamarku nyaman untuk dihuni.
Lalu percakapan kami berakhir. Mbak Aisy mengantarkaku ke asrama baruku, lalu meninggalkan pergi sampai memastikan bahwa barang-barangku sudah tertata rapi dan kamarku nyaman untuk dihuni.
---
Masa orientasi kuliah pun sudah
berakhir. Sudah waktunya aku merasakan dunia kuliah yang selama ini aku impikan
dan bertemu dengan teman-teman baru. Perkenalkan dunia baruku. Dunia sangat
bertolak belakang dengan dunia yang selama ini aku nikmati. Teman-teman yang
baru aku kenal memaksaku untuk beradaptasi lebih keras. Tidak sedikit yang apatis
atau macam pemandu sorak yang diceritakan di teenlit. Semua yang ada di cerita
teenlit dan sinetron seperti menjelma di dunia nyata. Aku kira memakai rok
dengan belahan tinggi, labrak-melabrak, merokok di tempat umum, pergi ke kelabing
hanya sekedar settingan skenario yang terlalu dibuat-buat.
“Ah pake kerudung segala lo. Udah
kaya anak pesantren tau gak? Cupu gitu kelihatan dekil. Hahahaa ..”, aku
mendengar sekelompok anak metropolitan yang sedang bergurau di kantin kampus.
Tetapi aku pura-pura tidak peduli. Aku malah menyibukkan diri dengan
meng-scroll instagram ku dan mengutak-atik tanpa tujuan.
“Iya, apalagi yang jilbabnya
digede-gedein gitu, dilapis-lapis warna-warni kaya pelangi. Udah kaya kue lapis.
Hahahaha ..”, seorang wanita berambut blonde menimpali sambil tertawa
terbahak-bahak.”Kaya anak baru yang di jurusan ..”. Suara mereka terheti
setelah melirik-lirik aku. Lalu suara lantang mereka berubah menjadi
bisik-bisik yang sekali lagi aku tidak mau peduli.
Aku seperti menikmati dunia yang sama
sekali belum prnah aku bayangkan. Melihat sekelompok preman bermain kartu di
lorong gang, melihat wanita merokok asyik di kafe, bahkan di tempat umum,
adalah hal baru yang sama sekali menjadi kesan terburukku setelah memasuki masa
kuliah.
Sayangnya, Mbak Aisy kuliah di
kampus yang berbeda. Aku sulit menemuinya lagi karena kesibukannya sebagai
mahasiswa kedokteran dan jaraknya yang relatif jauh. Aku merasa asing. Dan pada
suatu saat aku bertemu dengan teman-teman baru.
Seorang wanita seumuranku bertubuh
jangkung menghampiriku yang sedang membuka-buka buku catatan. Aku cukup
mengetahui namanya, Shafna. “Nama lo siapa?”
“Fira.”, jawabku singkat dengan
senyum sopan.
“Jangan diem aja. Disini lo ga bias
hidup sendiri. Lo bisa gabung kok sama kita yang ada disini”. Empat orang di
sebelahnya menyambut dengan senyuman hangat. Aku mengetahui nama mereka setalah
mereka menyalamiku satu persatu. Nama mereka Angel, Lisa, dan dua laki-laki,
Deni dan Bara. Kelimanya adalah orang asing yang kelak akan membukakanku pada
dunia luar sebenarnya – yang sama sekali belum aku sentuh.
---
Seperti apa yang dinasihatkan Umi,
setiap ba’da Maghrib aku selalu membuka Al-Qur’an.
“Jangan lupa ngaji sama baca
maknanya, Nduk. Biar kamu ga merasa hilang. Biar hati kamu ada talinya.”
Pesan itu tidak hanya disampaikan
sebelum aku berangkat kesini, lebih dari itu, bahkan ribuan kali, nasihat itu
selalu diucapkan semenjak aku masi ngaji Iqra’.
Suara ketukan pintu asrama
mengagetkan dan memberikan gerakan reflek untuk menyudahi ngaji sore ini.
“Fir. Buka pintunya dong!”. Dua
orang dengan suara cempreng khas mereka mengetuk-ngetuk pintu tanpa salam.
“Iya.” Aku membukakan pintu sambil
tergopoh-gopoh karena mukenaku kebesaran dan terbelit-belit.
“Kita mau main, nih. Ayo mumpung
besok ga kuliah dan jarang banget kan lo main-main kayak gini.” Rayu Shafna
dengan bujukan halusnya. Setelah mempertimbangkannya cukup lama, akhirnya aku
mengiyakan ajakan mereka. Dengan rayuan bahwa ini weekend dan aku tidak akan
mungkin punya waktu lagi karena terbentur dengan jadwal kuliah yang padat
ditambah kegiatan kampus yang baru aku tekuni.
Aku keluar dari gerbang asrama
dengan raut wajah yang kaget. Ternyata 3 sohib lainnya sudah menunggu didalam
mobil.
“Nah gitu dong, Fir. Sekali-kali
main. Jangan ngaji mulu. Bosen.”, kata Bara yang sedang asyik dengan i-Pod nya
menyambutku dengan sindiran itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku hanya
tersenyum, tanpa perlawanan.
“Eh, udah-udah. Caw yuk!”, ajak Deni
yang sudah duduk lama di kemudi mobil.
Mobil melaju dengan cepat, sesekali
pelan terkena traffic jam dan ini
adalah hal yang paling aku benci di Jakarta. Iringan music up-beat dengan volume bass yang keras pun menggema di mobil,
diiringi dengan suara cempreng Angel yang mengikuti lirik lagu. Macet pun
mengantarkan kami pada perjalanan berjam-jam dan sebenarnya aku tak tahu kemana
tujuan malam ini. Aku kira hanya sekedar hangout,
makan-makan sembari membahas hal-hal kampus atau saling berbagi cerita tentang
kejadian janggal atau dosen paling menyebalkan.
Tetapi perkiraanku salah.
Mobil berhenti tepat didepan kafe
remang yang ada di pusat ibukota. Aku cukup familiar dengan nama kafe yang
terkenal dengan hal-hal tidak senonohnya.
“Gue ga mungkin ikut kalian dengan
pakaian kaya gini.”, keluhku penuh kesal. Aku mendengus lalu merapatkan tangan
ke dada.
“Santai kali.”, rayu Shafna dengan
wajah datarnya.
“Gue ga bisa.”, tolakku untuk yang
kedua kalinya.
“Lo gak asik.”
Tangan
Bara menunjuk wajahku penuh kecewa. Dan pada akhirnya, aku takluk juga. Dengan
perasaan deg-degan dan badan panas dingin aku memasuki kafe disorot dengan
pandangan aneh orang-orang. Tetapi aku pura-pura tidak tahu.
“Lo mau pengajian?”. Seseorang yang
tidak aku kenal menyubit lenganku dan menyodoriku dngan pertanyaan yang
benar-benar sangat tidak mengenakkan. Aku risih dengan suasananya.
Dicubit-cubit cowok, dielus lembut dagunya tanpa hormat, disuit-suit, dan
menjadi sorotan banyak pasang mata hanya karena aku memakai hijab membuatku
ingin cepat meninggalkan tempat ini.
“Bukan. Ini bukan habitatku. Ini
bukan Shafira.”, batinku meyakinkan diriku sendiri.
Jam demi jam berlalu, pagi sudah
berdentang, dan akhirnya kemuakan ini berahir.
Dan bodohnya, karena aku yang
terlalu polos serta kehilangan arah, bukannya aku lawan, semua malah semakin
menjadi-jadi. Aku terbawa arus dan aku bukan menjadi diriku sendiri.
----
Bulan demi bulan terlewati. Sudah 5
semester aku menikmati kehidupan diluar kendali Abah, diluar penjara pesantren.
“Mbak, Aku pengen pulang.” Hanya
satu kalimat diiringi airmata yang keluar setelah aku memaksa Mbak Aisy
menjengukku di asrama. Sudah lama aku ingin berbicara privat seperti ini dengan
Mbak Aisy, tetapi selalu saja gagal.
Kuliah jauh yang aku pikir adalah
sebuah hijrah kehidupan dimana aku bisa menikmati sisi dunia lain, menatap masa
depan secara lebih liar, dan bertemu orang-orang baru, sangat kontradiktif
dengan ekspektasi yang aku gadang-gadangkan. Semua diluar prediksi, bahkan
terlalu meleset. Aku keluar dari kendali kontrol dan kehilangan pakem
kehidupan. Aku kehilangan kebiasaan-kebiasaan akhirat yang menghilangkan
keiistiqomahanku. Semua diluar rencana dan pada saat titik terendah, aku merasa
kehilangan Allah. Aku rindu ingin pulang.
Mbak Aisy hanya sanggup terpaku
melihat aku menangis di pelukannya, tanpa kata. Hembusan nafasnya yang dalam
mengawali celotehannya malam ini.
“Fira, kamu harus percaya dengan
rencana dan ridho. Larangan Abahmu dulu buat pergi jauh, sarannya untuk
menemaninya membangun pesantren semata-mata bukan karena pengen ngekang kamu,
Karena mereka sayang dan pengen membangun istana akhirat kamu secara lebih
dekat.”
Jawabannya mengena. Aku menunduk
lemas dengan sisa-sisa sesenggukan yang tidak juga terhenti.
“Kamu gak usah khawatir sama diri
kamu sendiri, Fir. Hidayah itu seperti rumah. Sejauh apapun dia pergi, hidayah
akan kembali ke tempat asalnya. Asal hati kamu bersih dan dibarengi dengan niat
yang baik.”, Mbak Aisy menambahkan. Wajahnya menduhkan. Namanya seperti
wataknya. Aisyah, seorang gadis cantik dengan pipi kemerah-merahan yang akhirnya
menjadi istri Rasulullah yang sangat cerdas.
Tangisku bukan semata-mata menyesali
keputusanku yang dulu. Lebih dalam dari itu, aku menyesali
ketidak-konsistenanku pada diriku sendiri. Aku sudah keluar dari menjadi diriku
sebenarnya dan jati diri menjadi hamba yang seharusnya.
“Aku nyesel, Mbak. Aku muak!”,
teriakku dengan isak yang lebih kencang. Aku marah dan jijik pada diriku
sendiri. Aku sudah kenyang dengan dunia luar yang ternyata lebih kejam daripada
yang aku bayangkan.
“Kamu gak perlu nyesel. Kamu cuma
perlu membangun istana kamu lagi. Menata batu-batu yang runtuh untuk meguatkan
pondasi, Fir.”
Semakin bersuara, semakin menyentuh.
Tangannya yang lembut menyatu dengan jemariku. Memberi energi dan semangat.
Lalu tangannya meraih sebuah jilbab dari dalam tasnya. Jilbab itu berwarna
coklat, diulurkan ke wajahku dan mengulur sampai ke bawah dada.
“Kamu pake ini, ya. Biar kita bias
reuni lagi di surga.”, katanya.
Aku tersenyum romantis. Bahkan lebih
romantis disbanding aku membalas senyuman seorang ikhwan murid Abah yang
menjadi pemimpin ngaji Al-Kahfi setiap malam Jum’at.
Ah,
Mbak Aisy. Dia selalu membuat hatiku luluh dengan rayuannya.
Aku memeluknya erat, lalu aku
berjanji kepada diriku sendiri untuk tetap menjadi seperti ini. Bahkan lebih
baik lagi.
Aku menatap matanya dalam dan
sealing bertukar senyum lama. Ternyata dari dia, aku mengerti bahwa hijrah
tidak melulu tentang tempat, tetapi juga hati dan pikiran. Hijrah bukan selalu
tentang perpindahan, tetapi juga perjuangan untuk sebuah pencapaian. Disini aku
belajar berjuang, untuk melawan nafsu dan melawan egoku. Aku sedang hijrah dan
berjuang menuju rumah.
Rumah itu adalah hidayah.
-------
Semoga
cerita ini dapat membuat siapapun selalu rindu pulang J
Tidak ada komentar